Berdasarkan kitab Wedhapradangga, tarian Bedhoyo Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung, dan Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta hadir ke daratan untuk mengajarkan secara langsung tarian Bedhaya Ketawang pada para penari kesayangan Sinuhun. Hal ini memang terlaksana, pelajaran tari ini dilakukan setiap hari Anggorokasih atau hari Selasa Kliwon. Sampai hari inipun, para penari kraton yang bertugas menarikan Bedhoyo Ketawang masih melakukan latihan pada hari yang ditentukan ini. Mengingat bahwa tari ini dipandang sebagai satu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus, seringkali dipercaya bahwa sang penciptanya hadir setiap kali Bedhoyo Kethawang ditarikan.
Sembilan penari perempuan, berbusana dodot ageng dengan batik corak banguntulak alas-alasan menarikan tarian kraton, Bedhoyo Ketawang selama 2,5 jam. Konon, gending ini menjadi lebih terasa sakral ketika Sunan Kalijogo ikut dalam proses pembuatannya. Tari ini biasanya dipagelarkan hanya acara Tinggalan dalem Jumenengan atau pada acara hari jadi penobatan raja dan hanya boleh dilihat oleh para pejabat dan kerabat keraton. Di jaman sekarang, tarian Bedhoyo dipagelarkan dan dapat dilihat secara bebas oleh khalayak pada tiap bulan Sya’ban. Namun bukan itu yang menjadi fokus tulisanku hari ini.
Dari beberapa buku yang ku baca, dan juga pembicaraan jarak jauh dengan salah satu mantan penari kraton dengan spesialisasi Bedhoyo Ketawang yang bernama Raden Ayu Sri Sulastri banyak hal yang dapat digali.
Sebelum menarikan tarian ini, sembilan penari Bedhoyo Ketawang haruslah melakukan ritual puasa, menyucikan diri lahir dan bathin tidak dalam keadaan ‘berhalangan bulanan’ ketika menarikan [hal ini membuat adanya penari cadangan yang dipersiapkan untuk saat-saat tak terduga].
[Jelas dalam pandangan kaum moderat, masalah katuranggan yang tercantum dalam primbon-primbon merupakan satu hal kuno yang tak dapat disandingkan dengan alam logika. Arti kata sensulitas di era modern ini juga lebih mengedepankan sosok perempuan yang bertubuh super langsing, berpakaian minim nan terbuka, menggunakan pemerah bibir yang super merah, dan berambut bucheri alias 'bule cat sendiri'. Berbeda dengan sensualitas yang diusung oleh kaum Jawa tempoe doeloe.
Sensualitas tiap jaman memang berubah-ubah, tergantung dari penilaian dan juga pandangan orang yang melihatnya. Semua serba relatif dan tergantung penilaian dan ego para pria yang mempunyai hak memilih. Sesuai perkataan Jawa, -pria berhak memilih, perempuan berhak menolak-. Kaum feminis yang mengusung doktrin kesetaraan pasti akan kembali mati-matian melawannya. So,gimana jika hal itu dibalik saja? Kembali ke masalah Bedhoyo Ketawang, jika dikatakan sensualitas para penari Bedhoyo nampak jelas terlihat, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dilihat dari sisi filosofis Bedhoyo Ketawang sendiri, melambangkan curahan cinta asmara Kanjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung.
Hal ini terlukiskan dalam setiap gerak tangan, gerakan tubuh, dan juga cara memegang sondher. Semua gerak merayu dalam Bedhoyo itu dirangkum sedemikian halusnya, hingga seringkali mata awam sangat sukar memahaminya. [Jelas, dengan 2,5 jam pagelaran dan melihat tari yang sangat lamban, bagi yang tak berkepentingan tak lebih hanya menciptakan kejenuhan]. Ada satu hal yang mungkin mudah dipahami oleh orang awam bahwa tarian ini adalah tarian lambang percintaan antara Ratu Kidul dengan Sultan Agung adalah, sembilan penari ini memakai busana dodot ageng dan paes ageng yang lazim digunakan oleh pasangan pengantin.
Dari Eyang Sulastri aku tahu bahwa dari beberapa cerita diketahui bahwa Sinuhun Paku Buwana X pernah menceritakan bahwa tarian ini murni melambangkan cinta asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung. Memang upaya tersebut selalu dapat dielakkan oleh Sultan Agung, bahkan Ratu Kidul meminta agar Sinuhun ikut menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, [Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan].
Namun demikian, Sultan Agung tidak menuruti kehendak Ratu Kidul karena masih ingin mencapai Sangkan Paran. Selanjutnya, begitu Sultan Agung bersedia memperistri Ratu Kidul, maka konsewensi secara turun temurun, setiap keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada hari peresmian kenaikan tahtanya.
Berbeda dari istana Yogyakarta yang sudah lama meninggalkan tari upacara magis sebagai aktualisasi “perkawinan” raja Jawa dengan Ratu Selatan (yang di Keraton Yogya dinamakan tari Bedhaya Semang), Keraton Kasunanan Surakarta hingga kini setiap tahun masih mempergelarkan tari upacara yang berfungsi sama, yang bernama Bedhaya Ketawang. Perbedaan penyikapan terhadap warisan budaya di antara kedua keraton utama Jawa itu menunjukkan bahwa yang satu lebih memberi tekanan pada aspek budaya yang magis-ritual, sedangkan yang lain lebih mementingkan nilai astetik dan upaya pemasyarakatan.
Kesimpulannya bahwa setiap tarian memiliki keistimewaan, ada tarian yang melambangkan cinta, dendam, bahkan sampai penghambaan terhadap tuhannya. Di Indonesia sendiri banyak tarian dari daerah yang melambangkan tarian yang masih mempunyai unsur agama budha atau hindu sehingga pada zaman sekarang yang dimana negeri ini sudah di dominasi oleh mayoritas muslim maka tarian semacam itu pun akan semakin di tinggalkan karena tidak sesuai dengan norma-norma agama islam itu sendiri. Semua gerakan yang ada di tarian itu merupakan bentuk gerakan yang mereka bentuk sebagai wujud dari ekspresi mereka terhadap sesuatu dan pada zaman sekarang tarian lebih mengarah ke stylish sehingga anak muda pada zaman sekarang lebih memaknai tarian sebagai suatu gaya bukan sebagai suatu icon budaya yang harus di lestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar